Membaca Jiwa Di Ruang Kontemplasi Tubuh
Hanya sebuah seni kontroversi yang ingin menjerit di keheningan
"Sebuah ruang kontemplasi yang mengajakmu berhenti sejenak dari reaksi dangkal, menembus visual, menimbang perspektif kita memaknai ciptaan Tuhan, tubuh yang dihadapkan pada moral dan budaya kadang membungkam perempuan"
...
Sebuah renungan dari sudut kamar yang remang dalam kesepian. Sensualitas menjadi bahan renungan bukan pertunjukan dan sensasi murahan. Apakah tubuh, sensualitas dan pemberontakan batin pantas dinilai dosa? dan kenapa perempuan selalu disematkan dengan stigma atau label tertentu saat ada yang sedikit berani keluar dari garis batas norma dan etika untuk bicara? Sedang acapkali laki-laki dipersilahkan bebas berjalan melenggang seolah hal biasa jika memiliki keberanian berbicara pada perihal yang sama. Apakah karena patriarki telah lebih dulu membungkus rapat dalam sebuah kado indah kepantasan dimana nilai perempuan menjadi berharga di mata setiap maskulin dan masyarakat yang konservatif?
Dear kamu yang sedang membaca tulisanku, apakah kamu sedang menghakimi visual yang kusajikan? atau diksi yang sedang kunarasikan? Mana yang membuatmu cepat-cepat membuat penilaian padaku yang sedang ingin memberi ruang kebebasan berekspresi?
Tenang, tarik nafas mu dalam-dalam aku tak sedang menujukmu dengan penghakiman juga, haha senyum sedikit biar kerut di dahimu menjadi pudar dalam ketegangan :) Ini hanya sebuah foto selfie sembari mencoba menirukan pose sensual bak model brand premium di kelasnya yang berpose sensual meski tanpa senyum. Bukankah visual seperti itu menjadi persuasif atas sebuah hal? Ya begitu juga aku ingin mengajakmu memikirkan sejauh apa otakmu berpetualang ketika melihat sisi-sisi rawan kerapuhan, akankah kamu cepat-cepat membingkainya dalam nilai moral dan agama? atau menikmati nya sebagai keindahan seni kontemplatif yang reflektif dimana pikiraku dan pikiranmu diletakkan pada sebuah kejujuran saat melihat ciptaan Tuhan? :)
Menjadi sebuah pertanyaan apakah kebebasan berekspresi lahir dari kehausan akan validasi dan menanti apresiasi? dan apakah nilai dari sebuah apresiasi itu lalu diletakkan sebagai batas pencapaian aktualisasi diri?
Disclaimer: biarkan narasi ini menjadi ruang refleksi pribadi. Bukan ajakan pada sikap amoral. Karena tubuh memiliki bahasa yang sering disalahpahami dan keindahan ciptaan Tuhan menjadi abu-abu jika enggan masuk ruang kontemplasi diri.
Semoga kita belajar bahwa tubuh bukan dosa, ekspresi visual nya bukan hasrat murahan, perempuan bukan boneka patriarki, dan moral tak layak dipenjara dalam ruang tanpa permenungan.
Tulisan ini lahir dari kontemplasi. Biarkan utuh pada tempatnya, untuk dibaca dan direnungkan. Mohon tidak disalin, disebar, dipotong tanpa izin penulis. Hormati kata, hormati makna, hormati ruang dimana renungan ini lahir. Dan segala persepsi dan interpretasi di luar maksud narasi bukan menjadi tanggung jawab penulis.
Comments
Post a Comment
thanks,