Tenggelam di Danau Soto Mie Bogor
Secercah harapan membawa lamunan tentang sekian tahun silam. Ingatanku kembali di gang sempit sebuah kampung di tengah kota metropolitan. Sayup suara adzan magrib dari surau terdekat dan aku yang pulang dari kerja sedang menunggu bapak penjual keliling soto mie Bogor. "Ah, ini masakan terenak di ibu kota" pujiku dalam hati, dan akan selalu begitu menggarisbawahi seleraku. Ya rasa rempah daun salam, sereh, daun jeruk mendominasi, menyatu dengan kaldu daging yang dagingnya sudah selesai berenang dan pergi entah kemana mengambil handuk. Kini ingatan itu kembali kubawa pulang. Kali ini di jalanan kota ibu, di siang terik dengan perut keroncongan. Sebuah kedai lawas dengan meja tuanya berjajar menawarkan pesona kuliner dalam ingatan yang tak terlupakan. Segumpal mie kuning memanjang bertarung eksistensi dengan bihun, dan beberapa potongan mutilasi risol yang mereka bilang, tapi kataku "Itu lebih mirip lumpia", dan si buah melinjo geprek yang tipis pun tampak eksis mencuri hati, menggoda mata, seolah ingin menjadi yang pertama tuk dirasa manusia. Tapi meski semua berusaha mencari validasi demi eksistensi dalam semangkuk sajian yang tak terlalu panas itu, diam beberapa sayatan tipis daging yang terlihat seperti kayu tua mengapung bak rakit di tengah danau tak beriak. Kehadirannya tanpa kata, tak berdandan namun mencuri perhatian. Ia akan selalu dibilang cantik dan menarik jika ia hadir dengan ketebalan dan berendam dengan teman-temannya semakin banyak berdesak. Menatapnya semakin gemas dan sembari meraih dayung perahu yang terbuat dari logam yang tertambat di pinggiran danau, kuperas sesuatu yang terasa asam tapi bukan keringat dari peluh yang lelah bekerja. Dan karena hidup itu penuh kejutan, biar kutumpahkan juga beberapa sendok cairan pedas yang tentu tak sepedas obrolan tetangga haha! Mari mengoyak danau yang terlihat tenang itu dengan dayungnya, agar mereka tak bisa lagi bertengkar mencari perhatian manusia. Maka danaupun menjadi porak poranda dalam hitungan detik. Lamunan memecah kesunyian dari ingatan suara di gang itu, dan ya rasanya tak pernah sama. Apa yang kucecap di sana memang juara! Manusia mengulang, kadang sejenak ingin kembali, bukan berarti gagal move on, tetapi hati akan selalu menyimpan hal-hal terbaik dari ingatan. Replika dan kemiripan sedikit mengobati rindu, tapi pengalaman dan kesan tak tergantikan tak juga dicuri waktu. Sedikit mengobati rindu, rakit kayu danau inipun tak buruk, sudah lebih baik daripada aku harus membuatnya sendiri. Hihi, lagi-lagi itu sebuah pembenaran dari manusia malas sepertiku!
Aku manusia pribumi yang mencintai kuliner murah meriah di negri yang kaya dari kehidupan di gang kampung kota metropolitan, "show, don't tell"
Comments
Post a Comment
thanks,