Ironi dan Kebutuhan
![]() |
Foto: Buku Harian Laura |
Braaakkk!!!! terdengar pintu dibanting Yohana pulang dari tempatnya bekerja. Penat sekali hari itu, lapar, haus, lelah sempurna sekali melampiaskannya pada pintu dan tasnya. Terhempas di sudut kamar tas dan isinya berserakan. Sementara tubuh mungil itu ia hempaskan di atas dipanya sekedar berbaring dan menghela nafas penat dan muak dari tempat kerjanya. Bagaimana tidak Yohana lulus sarjana, bermakasud mencari pengalaman kerja tapi apa boleh dikata 8 jam 6 hari kerja selama 2 tahun dengan gaji di bawah UMR.
Seminggu kemudian..
"Pak ini surat resign saya" sembari masih juga berharap barangkali bossnya berubah pikiran dan mereview kembali gajinya.
"Loh kenapa ? kamu bagus loh kerjanya kok resign ? apa ada masalah dengan orang di sini?
"Nggak Pak"
"Lalu kenapa resign" berkelit lagi
"Nggak ada apa apa pak saya mau cari pengalaman baru saja" sahut Yohana pelan
"Kenapa gaji kamu kurang ya?"
"TENTU SAJA DUA TAHUN PAK DUA TAHUN CUMA Rp. 650.000,- yang benar saja" teriak Yohana dalam hati
"Yohana gimana kalau saya naikin gaji kamu jadi Rp. 900.000,- ? kamu jangan resign ya.."
"GILA yang benar saja masih saja berani menawarkan angka di bawah UMR itu" semakin sengit teriak Yohana sambil memukul meja dalam hayalannya
"Nggak Pak, saya resign saja mo cari pengalaman baru" sahutnya pelan
"Ya sudah kalau kamu maunya begitu, saya harap sukses buat kamu" ucapan standar bossnya
Dan surat referensipun ditandatangani.
Sebuah kenyataan adalah bekerja dengan gaji di bawah UMR untuk seorang lulusan sarjana. Terlihat lebih baik di mata masyarakat ketika seseorang bekerja di sebuah perusahaan (kantor) dibandingkan profesi-profesi tertentu yang sering dipandang sebelah mata. Tentu hal itu tidak terjadi di semua daerah, tetapi banyak. Ibukota (kalau belum pindah) masih menawarkan banyak pekerjaan dengan tawaran gaji yang kompetitif. Tetapi konsekuensi dan tanggung jawabnya tentu saja berbanding lurus. Sebenarnya semua tetap tergantung komitmen masing-masing individu. Merasa cukup atau tidak. Dan tak menutup mata cost living urban kota jauh lebih tinggi dari pada di daerah pedesaan. Namun seiring jaman semua bergeser, desa yang tadinya sepi kian menjadi ramai, dan diminati. Akhirnya berdampak pada sosial ekonominya. Sebut saja kotaku, kota ibu semakin mirip dengan ibu kota. Banyaknya pendatang semakin membuat kompetisi mendapatkan pekerjaan menjadi semakin sulit. Dibutuhkan ide-ide kreatif untuk survive dengan pilihan enterpreneur. Tak semudah membalik tangan, bisnis kecil timbul tenggelam karena bertemu dengan berbagai kendalanya. Menjadi sebuah pemikiran yang kadang kupikirkan, kenapa banyak lowongan pekerjaan kadang ditawarkan tak sesuai bidang pendidikan yang digeluti dan pernah dipelajari. Sebut saja di usaha perbankan, ga harus lulusan ekonomi yang bekerja di sana. Ada berbagai manusia dari berbagai disiplin ilmu bisa bekerja di perbankan (jika beruntung dan punya kesempatan). Lalu kenapa juga lulusan pertanian tidak menjadi petani? Ironis sebuah profesi yang juga semakin ditinggalkan yaitu petani. Semua orang butuh makan tetapi yang menjadi petani semakin berkurang. Jika kita ke desa-desa, usia penggarap sawah bisa kita temui ada di usia yang sudah lebih tua kebanyakan. Realitanya banyak dari anak petani yang memilih untuk tidak melanjutkan profesi orang tua mereka. Tidak salah karena hidup adalah pilihan. Tetapi tetap saja menjadi ironi karena hidup butuh makan, dan profesi bidang pertanian akan selalu dinantikan dari generasi ke generasi. Perkembangan teknologi juga sering membuat manusia di masa lalu tergagap-gagap untuk mengikuti. Mereka yang tidak pernah mendapatkan pelajaran di bangku sekolah atas kemajuan teknologi itu harus mau dan mampu belajar sendiri jika tidak mau digerus waktu dan terpaksa tersisih. Tetapi ironis juga melihat beberapa konten di media sosial pada potret generasi muda saat ini (gen z dan gen alpha) yang beberapa dari mereka tak piawai ketika ditanya tentang pelajaran berhitung dan pengetahuan umum, padahal dari segi teknologi mereka adalah anak-anak yang jauh mendapatkan kesempatan belajar teknologi lebih maju dengan kemudahannya. Entah itu hanya konten semata atau realita? Pertanyaannya lagi apakah teknologi yang dikembangkan membuat orang menjadi lebih pintar atau menjadi lebih malas dan bodoh karena semua serba instan dan praktis? Tentu menjadi dua mata pedang bukan, bagi peneliti, pengembang, penciptanya versus pemakainya. Tak berarti juga pemakai adalah pihak yang mendapat efek kurang positif. Ya karena pemakaian teknologi secara bijak akan tetap membantu pekerjaan manusia sebagaimana tujuan penciptaannya. Jadi ini bicara apa? pekerjaan? gaji? disiplin ilmu/ pendidikan? atau perkembangan teknologi? saya rasa saya bicara semuanya dalam ranah awam yang masih sangat prematur dan banyak harus belajar menulis dan membaca sebagai referensi atas tulisan saya. Karena semua yang disebutkan itu saling berkaitan. Semakin hari antara akan menjadi momok yang menakutkan? pilihan ikuti dan pelajari! atau lihat kesempatan lain dan ciptakan sesuatu!, atau menunggu semesta pada waktunya akan direset dan semua kembali dari nol dan kemampuan survival dasarlah yang kembali harus dipelajari semua orang?
Comments
Post a Comment
thanks,