Ompreng

Pernah sekali naik yang bentuk begini dulu waktu tinggal di Jakarta. Lantaran kemalaman dan kehabisan kereta dari arah Bogor, jalan kakilah aku tengah malam keluar stasiun. Menunggu angkutan atau bus apa saja yang bisa membawaku ke arah Jakarta. Dan setelah menunggu beberapa saat sembari mencari tempat yang aman, akhirnya aku bertemu beberapa bakul (pedagang) yang hendak menjemput rejeki subuh ibukota. Mereka dan seabreg dagangannya dijejalkan ke angkutan ini (sebut itu colt ompreng). Kendaraan berplat hitam, yang memberikan jasa mengangkut penumpang tentu dengan tarif tawar menawar yang disepakati, bukan tarif resmi. Namun angkutan ini sering menjadi solusi jika kehabisan/ ketinggalan bus seperti yang kualami. Seperti kaleng memang apa aja muat angkutan ini diisi dengan penumpang beserta karung-karung yang entah dagangan apa isinya, ada juga sayuran-sayuran, serta ayam-ayam hidup yang ditali lafia dan siap dijual. Ketika hendak masuk saja sudah berjuang karena tingginya angkutan dan kakiku yang sudah payah usai berjalan jauh. Kondisi berhimpitan mengamininya pula. Di dalamnya kulihat beberapa laki-laki berjaket kulit dengan mukanya tak bersahabat tak mau berbagi tempat duduk. Mukanya masam dengan kulitnya kecoklatan terbakar matahari yang identik dengan dunia pekerja keras barangkali. Sembari harap-harap cemas semoga saja mereka ini orang-orang baik (bukan copet/ bukan tukang todong yang konon ceritanya ada di ompreng-ompreng ibukota). Akupun naik ke angkutan ini dan berdiri, beberapa dari mereka menyuruhku berdiri lebih masuk barangkali karena aku seorang wanita dan dianggap terlalu lemah untuk bergelantungan. Ya aku berdiri beberapa saat di dalam sampai dapat giliran duduk jika ada yang turun. Atmosfer dalam angkutan itu gelap tanpa lampu, sesekali kami hanya bisa saling melihat penumpang di sebelah lantaran temaram lampu jalan yang menyusup ke celah-celah yang ada. Sekali lagi rasanya memang seperti di dalam kaleng pengap beradu keringat dan angin malam. Dengan bagian belakang yang terbuka (seperti mulut kaleng) tersedia untuk menjejalkan penumpang yang mau bergelantungan. Untung saja aku sudah tak terlalu asing dengan perjuangan naik angkutan bergelantungan dan berjejal, karena saat sekolah dulu sudah biasa, hanya saja angkutannya sedikit lebih baik dan tidak terlalu dihantui rasa cemas akan tindak kriminal seperti kecemasanku dalam ompreng itu. Sampai sekarang jika lihat kendaraan jenis itu aku pasti teringat pengalaman sederhana tak terlupakan itu. Dan dini hari akhirnya aku sampai di Jakarta lagi dengan selamat. Entah apakah angkutan ini masih ada saat ini? 

Comments

Popular Posts