Celengan Rindu Untuk Beringharjo

Untuk pertama kalinya aku merindukan pasar ini. Pasar kedua sejak masa kecil yang sering kusambangi setelah pasar tradisional Lempuyangan. Dan kalau tidak salah ingat terakhir pergi ke pasar ini benar-benar masuk untuk berbelanja tahun 2017. Kebetulan waktu itu kalau tidak salah cari kain belacu bareng teman, karena mau membuat handicraft pouch atau tas lukis. Selebihnya setelah itu hanya lewat saja di sekitaran pasar meski beberapa kali jalan-jalan ke Malioboro. Sewaktu kecil, saat rumahku tak begitu jauh dari pasar ini, aku sering ikut bersama nenekku ke pasar berbelanja dengan naik becak dari Tukangan (rumah masa kecilku). Sangat senang dan hal itu terus berlanjut hingga remaja. Aku masih sering ke sana saat rumah kami sudah pindah di Sleman. Tapi tentu saja kami tidak naik becak lagi, karena itu tidak mungkin. Jaraknya terlalu jauh. Kami naik angkutan umum bus kota Kopaja/ Aspada jalur 4 dari perempatan Mirota Kampus UGM. Banyak pengalaman menyenangkan pergi bersama nenek ke pasar ini, yang jelas siapa tidak senang kalau ke pasar pasti dibelikan baju, sepatu, tas atau apapun yang kuingini. Belum lagi ditambah jajanan pasarnya yang tak terlupakan dan selalu menganyam rindu penikmatnya untuk kembali pulang menyambangi pasar Beringharjo lagi dan lagi, ataupun hanya sekedar menceritakan kearifan lokal pasar itu kala siang. Bahkan hingga nenekku telah berpulang aku masih beberapa kali pergi ke pasar itu baik dengan ibuku (mama) ataupun sendirian. Rasanya dulu aku sedikit hafal tatanan ruas lorong-lorongnya dan menjaja apa saja di setiap bagiannya karena begitu familiarnya. Tapi setelah aku pergi merantau ke Jakarta aku mulai jarang ke pasar itu. Paling setahun sekali kalau pulang mencari oleh-oleh aku mampir menghirup wangi aroma tradisional dan kearifan lokal pasar itu. Apalagi sekarang sudah hampir tidak pernah meski aku sudah tinggal lagi di kotaku Jogja tercinta ini. Ah tapi akhirnya pandemi ini membuat semua orang berhasil merindu. Merindu temu, merindu peluk, merindu salam dan sapa, serta merindu hiruk pikuknya kota. Ya aku rindu pasar Beringharjo! Lekat dalam ingatanku penjual sate kere (sate lemak/ gajih) diselasar samping depannya. Juga penjual pecel bakmi banjur, tahu tempe bacem, mangut lele dan kuah kesayangan serta buntil daun talas di selasar depan yang berhadapan dengan gerai-gerai toko emas. Lalu di salah satu sudut gang pasar ada warung soto yang menyediakan tempat duduk alakadarnya memaksimalkan lahan sempit yang tersedia, tapi luar biasa ramenya warung soto itu. Terang saja aromanya menggoda perut-perut yang berkecamuk kelaparan pengunjung pasar. Jika tidak percaya, coba saja kamu buktikan sendiri. Dan tak kalah menarik tuk diceritakan sisi belakang pasar yang lebih di dominasi produk-produk tradisional selain produk fashion. Aroma khas rempah-rempah, jamu, dan belerang bersahut menyapa pengunjung berperang dengan aroma wangi surganya segala macam ikan asin. Buat kamu pecinta barang antik, barang kuno, kolektor uang lawas, batu akik dan sebagainya bisa dijumpai di selasar pasar sebelah utara, dekat penjual bunga-bunga plastik. Tak kalah serunya adalah sensasi peliknya tawar menawar pembeli dan penjual untuk harga yang disepakati jelas masih berlaku di pasar ini. Benar-benar tak terlupa, coba saja kalau tidak percaya! Ternyata memang benar perlunya sebuah jarak untuk menganyam rindu dan menabung receh rasa membeli cinta yang kadang terlupakan dunia yang semakin modern. Ya apakah kalian juga rindu Pasar Beringharjo, Ketandan dan kekhasannya. Semua orang pasti punya kisah tuk diceritakan tentang pasar ini. Mari bertemu lagi membeli cinta dengan memecah celengan rindu stay at home kita seusai pandemi di pasar itu dan kita ceritakan lagi cerita bahagia tentang Yogyakarta yang selalu berhati nyaman ini. 


Comments

Popular Posts