Tukang Becak



Sudah berpuluh tahun tak merasakan lagi rasanya naik becak. Hanya terlintas ingatan saat bocah, pergi kemana-mana bersama eyang naik becak. "Pelan sekali sih..." gerutuku kesal yang waktu itu belum mengerti arti perjuangan, tak peduli jalan menukik naik di jalanan sekitar kotabaru si Bapak tua ngos..ngosan turun mendorong becak dan juga kami. Eyangku cukup berbadan gemuk ditambah belanjaan, yah bisa dibayangkan bagaimana letihnya betis coklat berurat itu berjuang demi uang sekitar 2000an jaman itu. Peluh menetes mengkilapkan keriput lelaki paruh baya itu dengan aroma khas wangi matahari (mirip bau seng) mereka. 
Salah satu tukang becak langganan yang kuingat namanya Pak Jaenudin biasa mangkal bawah pohon jambu depan rumahku dulu. Kalau nggak Pak Jaenudin ya Pak Larsono tukang becak dekat rumah yang lebih tua. Ada juga Pak Min, tukang becak tambun yang kalau makan bakso ga cukup semangkok. Dia specialis trayek pasar. Ya itulah ingatanku tentang becak di rumah masa kecil (Ledok Tukangan). Menjadi tukang becak acapkali seolah menjadi sindiran cita" untuk mereka yang tidak mau sekolah. Ironisnya beberapa tukang becak banyak yang mampu menyekolahkan anaknya hingga sarjana. Bagaimana bisa? Sudahlah jangan melogika, itulah cara Tuhan bekerja, untuk kita belajar menghargai setiap profesi. Karena peluh hari ini adalah butiran emas di waktu nanti. 
Kini mereka adalah sederet alat transportasi yang mungkin lebih berlabel wisata, karena sudah barang tentu keberadaan mereka tergusur oleh ojek atau taxi baik konvensional maupun online. Belum lagi diamini dengan pilihan efesiensi dari segi waktu. 

Potret becak Solo di sekitar Galabo.

Comments

Popular Posts