Goes To Wonosari - Christmas Holiday of 2015
Masih dengan cerita Liburan Natalku tahun 2015 kemarin, bolelah ku kenalkan juga indahnya wisata alam di kota kelahiranku Yogyakarta. Pagi yang cerah Selasa, 29 Desember 2015 kami berangkat untuk jalan-jalan ke Wonosari yang merupakan ibu kota kabupaten Gunung Kidul Profinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Pemandangan asri pegunungan menyapa pagi mengantar kami menikmati perjalanan itu. Sementara renyah obrolan kakakku dengan Kak Ocha (temannya) memperbincangkan seputar kabar Yogyakarta, rencana pembangunan bandara baru di kotaku, bahasa diberbagai negara, dialeg masyarakat setempat, menemani kami yang sedang menemani Lily dan Robert dua teman Kak Ocha jalan-jalan ke kotaku. Oke selepas mampir sarapan soto ayam, kami menuju ke air terjun Sri Gethuk mengubah dari rencana awal untuk ke Kali Biru karena kami sudah sedikit kesiangan untuk mendapat view pagi terbaiknya.
Hore Segar di Sri Gethuk
Sri Gethuk, salah satu wisata alam di Wonosari yang menawarkan indahnya air terjun, asrinya sungai Oya yang dikelilingi sejuk pegunungan di kecamatan Playen Kabupaten Gunung Kidul. Mendengar nama Gethuk kita pasti akan berpikir pada salah satu makanan yang memang khas daerah kabupaten Gunung Kidul yang terbuat dari ubi kayu/ singkong. Namun asal muasal nama Gethuk disini bukan itu, melainkan dari kata Kethuk yaitu salah satu perangkat gamelan jawa yang berbentuk gong tunggal yang berfungsi memberi penekanan pada permainan musik gamelan jawa. Tetapi mengenai pelafalannya hingga disebut gethuk katanya karena kebiasaan masyarakat setempat saja untuk mudahnya. Sedangkan kenapa air terjun di daerah itu diberi nama seperti salah satu perangkat alat musik gamelan, karena konon ceritanya dari cerita nenek moyang turun-temurun masyarakat sekitar yang entah memang mitos atau bukan, bahwa di daerah tersebut dahulu ada kerajaan lelembut (sebutan untuk makhluk halus tak kasat mata dalam istilah jawa). Dan di situ sering terdengar bunyi-bunyi gamelan yang pada suatu ketika tidak terdengar lagi karena hilangnya salah satu perangkat yaitu Kethuk itu tadi. Jadi sejak saat itu masyarakat yang tinggal di desa Bleberan, Playen Gunung Kidul menyebutnya Kethuk (Sri Gethuk) untuk air terjun itu.
![]() |
Sri Gethuk, Bleberan, Playen Foto: Buku Harian Laura |
![]() |
Crossing by raft at Kali Oya, Sri Gethuk Foto: Buku Harian Laura |
![]() |
Foto: Buku Harian Laura |
![]() |
Welcome jumping and swim at Sungai Oya Foto: Buku Harian Laura |
Kembali pada cerita jalan-jalanku tadi, sesampainya di objek wisata air terjun Sri Gethuk kitapun membayar tiket untuk naek perahu lebih tepatnya rakit sih seharga Rp. 10.000,- per orangnya. Dan dengan rakit tersebut kita akan dibawa menyusuri teduh serta asrinya dengan dimanjakan sejuk udara pegunungan di sungai Oya sampai pada spot air terjun dan lokasi sungai dimana kita diperbolehkan untuk berenang. Bebatuan karang menjadi dinding indah dan pijakan-pijakan kaki mendaki di sekitar air terjun, dengan cekungan kolam-kolam yang dari ketinggian air tersebut turun mengalir ke sungai Oya yang airnya tampak hijau. Namun air terjun Sri gethuk ini tidak hijau, tetap jernih meski mengandung kapur dan sangat segar sekali untuk dinikmati, jadi kami pun bermain basah-basahan di sekitar air terjun ini. Selain itu disediakan pula persewaan pelampung seharga Rp. 5.000,- per orang untuk opsi standar keamanan berenang di sungai.
Selain wisata alam dengan pemandangan indah dan segarnya air terjun Sri Gethuk serta hijau, asri dan sejuknya berenang di sungai Oya, kuliner khas pantai masyarakat setempat yaitu Degan bakar dijajakan di sepanjang jalan memasuki objek wisata, tapi kami tak membelinya saat itu.
Yuk Cicipi Kuliner khas Wonosari, Gunung Kidul
Selepas puas bermain di Sri Gethuk sesuai rencana kamipun lanjut untuk makan siang bersama. Ya kami pergi untuk menikmati kuliner setempat di Jalan Wonosari - Semanu yaitu di Lesehan Pari Gogo Sego Abang Mbah Jirak, sebuah tempat makan yang menyajikan sego abang (nasi merah dalam bahasa Jawa) juga maskan khas Gunung Kidul seperti Jangan (Sayur dalam bahasa Jawa) Lombok Ijo, Iso Babat, Ayam Goreng Bacem, Sayur Daun Pepaya, Oseng Kempompong Ulat, dan yang paling terkenal Belalang Goreng khas Gunung Kidul yang gurih dan renyah. Dua menu terakhir yang aku sebutkan mungkin sempat terdengar ekstrim dan ngeri sih tapi setelah dicoba rasanya cukup enak, renyah gurih mirip udang goreng untuk rasa belalangnya, sedang untuk Oseng Kepompong Ulat rasanya empuk menurutku mirip dengan rasa oseng tomat hijau. Dan favorit menu kami adalah Jangan Lombok Ijo, sedikit serupa dengan sayur Lodeh tetapi tidak dengan sayuran terong kacang panjang tetapi dengan bahan cabe hijau dan tempe semangit (tempe yang dibiarkan setengah mebusuk agar keluarlah aroma sedap) menyatu jika dimasak bersama santan. Adapun di lesehan ini kita juga dapat membeli kuliner-kuliner unik itu tadi sebagai oleh-oleh dengan beberapa varian rasa selain belalang goreng original, ada juga rasa pedas dan juga bacem yang dikemas dalam toples kecil yang biasa digunakan untuk kemasan nastar atau castengel dengan harga Rp. 35.000,- per toplesnya.
Yang Indah di Pantai Nguyahan
Perut kenyang, hati senang dan kami lanjut perjalanan jalan-jalan kami ke pantai. Masih di Wonosari, Gunung Kidul kami menuju ke Desa Kanigoro, kecamatan Saptosari dengan jalan berliku naik turun curam membawa kami ke Pantai Nguyahan. Lokasinya berdekatan dengan dua pantai yang cukup terkenal juga di Gunung Kidul yaitu Ngobaran dan Ngrenean. Adapun nama Nguyahan, berasal dari kata Uyah (garam dalam bahasa Jawa), di mana dulunya menurut masyarakat setempat pantai ini adalah tempat untuk pembuatan garam. Pantainya masih asri diapit dengan dua karang besar di sekitarnya. Pantai Nguyahan adalah pantai yang landai dengan karang di tepian agak ke tengah pantai membuat kita bisa menikmati cantiknya deburan ombak pantai selatan menghantam karang dan tak sampai menghempas pesisirnya. Sementara di pesisirnya pasir putih berbaring bengikuti cekungan-ceungan karang yang dijadikan tempat berteduh untuk duduk santai para pengunjung. Dan di pantai Nguyahan ini beberapa biota laut masih dapat dijumpai di tepian pantai, seperti halnya rumput laut, kerang-kerang, bintang laut, dan kepompong laut, juga ikan-ikan kecil yang berenang disela-sela bebatuan karang.
![]() |
How really awesome and beautiful view at Pantai Nguyahan, Gunung Kidul Foto: Buku Harian Laura |
![]() |
Foto: Buku Harian Laura |
![]() |
Inhabitants and their fishing activity at Pantai Nguyahan Foto: Buku Harian Laura |
![]() |
Twilight Framed at Pantai Nguyahan Foto: Buku Harian Laura |
![]() |
Two girls and an umbrella with beautiful orange at Pantai Nguyahan Foto: Buku Harian Laura |
![]() |
Smile under the cap Foto: Buku Harian Laura |
Kuliner lagi, Yuk Nyateeee!
Matahari sudah hampir tenggelam dan usai juga kami bermain di pantai lalu kami kembali untuk pulang menyusuri jalan yang sudah mulai gelap. Tetapi sebelum pulang kami mampir ke area Pasar Jejeran, Wonokromo di Jl. Imogiri, Pleret Bantul untuk makan malam, menikmati Sate Klatak dan Kicik di warung Sate Pak Bari. Dan memang di sepanjang jalan Imogiri ini terkenal dengan jenis kuliner unik Sate Klatak.
![]() |
Sate Klatak Pak Bari at Pasar Jejeran, Wonokromo, Jl. Imogiri, Pleret Bantul Foto: Buku Harian Laura |
Sate Klatak adalah kuliner sate khas Yogyakarta yang dibuat hanya dengan bumbu yang sangat-sangat sederhana, ya hanya daging ayam atau kambing dengan garam saja lalu dibakar. Uniknya sate ini tidak ditusuk dengan lidi atau bambu seperti yang biasa kita beli, tetapi daging ditusuk dengan menggunakan ruji sepeda yang terbuat dari besi yang sangat sempurna sebagai konduktor panas hingga satepun tentu matang merata. Sate dibakar, dan disajikan bersama sepiring kuah pelengkap sate yang rasanya mirip kuah gule dengan sepiring cabe rawit segar. Sedangkan menu kicik di Sate Klatak Pak Bari menawarkan dua pilihan yaitu Kicik Daging atau Kicik Balung (tulang dalam bahasa Jawa). Oya Kicik itu adalah sejenis tongseng dengan sedikit kuah, rasanya sangat sempurna, saking enaknya kita bisa khilaf untuk menikmatinya. Kenapa kami memilih Sate Klatak Pak Bari? karena selain rasa, juga suasana pedesaan pasar menjadi pilihan wisata kami untuk mengenalkan uniknya Yogyakarta pada Lily dan Robert.
![]() |
Selling satay in tradional markets are closed at nigh Foto: Buku Harian Laura |
Kedai sate lesehan ini digelar di area pasar yang tidak beraktifitas di malam hari. Menjadi sandaran kami duduk di tikar adalah tembok-tembok pasar serta alamari-almari pasar yang nampak dekil dan usang memang khas suasana pasar tradisional, unik bukan kuliner di kotaku. Yuk jalan-jalan ke kotaku, nikmati kotanya yang bersahabat, penduduknya yang ramah dan berbagai kuliner unik lainnya. Dan jangan khawatir kotaku terkenal murah meriah lho, so Happy vacation to my hometown! and be falling in love with Jogja :)
(special thanks to my brother, kak Ocha, Lily and Robert)
Comments
Post a Comment
thanks,