Biru Jingga Kota Kupang




Baru kuselesaikan sebuah catatan perjalanan tiga tahun lalu pada ingatanku tentang indahnya ibukota Nusa Tenggara Timur.
Tentang jingga pada senjanya..
Juga tentang biru pada langitnya..
Senja menua di tepian Kelapa Lima Nusa Tenggara. Riuh bocah bermain di hamparan kerikil karang yang bertebaran.



Sementara beberapa nelayan membereskan perahunya, menepikannya dan mengikat erat dengan tali di pesisir pantai agar tak terbawa ombak ketengah. Dan aku datang selepas menemani kakak dari Nunbaun Sabu, salah satu kompleks pemakaman orang keturunan China di kota Kupang. Pemakaman di sana cukup aneh, selain bentuknya ukurannya juga luar biasa besar. Bahkan beberapa ada yang sebesar ranjang/tempat tidur. Entah karena tradisi atau barangkali karena tanah yang tersedia masih banyak.




Tak jauh dari rumah tempatku singgah, aku bisa menikmati sore dan memandangi butiran pasir putih yang lebih didominasi dengan kerikil karang. Tetapi sore di sana memang berbeda, terlalu jingga sempurna untuk disebut senja.
Dan benar kata orang pulau Nusa Tenggara tak kalah indahnya dengan destinasi wisata di pulau-pulau lain yang sudah lebih dulu ternama. Masih asri dengan kearifan lokal pada sapa ramah senyum manis penduduk setempat menjaja ikan segar yang besar-besar di sepanjang jalan tepian Kelapa Lima. 

Oya langit di sana juga sangat biru seperti menawarkan rindu pada ingatan orang untuk kembali datang. Dan saat senja tiba jingganya begitu sempurna seeksotis senyum dari bumi timur Indonesia.



Disana jalannya meliuk menukik naik turun, sedikit tandus memang karena masih minimnya sumber air tawar di sana. Wargapun membuat sumur atau bak penampungan untuk menyimpan air tawar yang dibeli dari tangki-tangki penjaja air tawar bersih guna keperluan sehari-hari. Sedikit memprihatinkan memang, karena daerah yang indah itu didominasi dengan sumur yang masih berair payau. Sungguh harapan besar untuk pulau itu berkembang, semoga pemerataan pembangunan negri ini kian berjalan lebih fokus ketimur.
Meski memang tandus dengan keterbatasan tadi, banyak wisata yang masih bisa digali di sana. Pesona alamnya, kulinernya, dan budaya yang berbeda tentu menawarkan pesona untuk lebih di kenali. 
--

Dan bicara soal budaya, Nusa Tenggara pulau yang menawarkan sejuta keceriaan. Senyum manis khas Indonesia timur, keceriaan dalam lagu-lagu dan budaya menari memang menjadi degub jantung pulau itu. Disetiap acara hajatan budaya menari dan bernyanyi bersama selalu ada. Rasanya memang jauh berbeda terlebih bagi pendatang seperti ku yang baru melihat pertama kalinya orang seperti tak punya lelah menari sepanjang hari. Bayangkan saja di pesta pertunangan orang bernyanyi dan menari dari siang sampai sore, lalu setelah itu ada hanya berjeda pulang mandi diundang lagi untuk acara, dan lagi-lagi orang menari dan bernyanyi lagi sampai larut malam.
Tak lupa kuliner babi yang menambah berat badan betebaran di meja-meja memanjakan lidah kami manusia dari pulau Jawa yang tak terlalu sering bertemu dengan se'i babi. 
--
Bicara soal kuliner babi kas Kupang Nusa Tenggara Timur, selepas dari pantai Tablolong kami menuju desa Baun yang terkenal sebagai desa pembuat sei babi panggang khas Kupang yang enak. Sebuah tungku besar seperti bak semen menghitam dengan kayu-kayu arang. Bapipun dipanggang diatasnya dengan cara diasap menggunakan daun khusus. Ya daun kosambi namanya. Tak hanya daun saja, kayu-kayu untuk pembakaran itupun diambil dari batang kayu kosambi, tujuannya agar se'i babi tetap segar dan memerah. Wangi aroma sei kas Kupang memang berbeda. Akupun mampir makan. Masuk ke gubuk kecil dengan bangunan semi permanen beratap seng berdinding setengah batako setengah bambu dan meja serta kursi seadanya. Meski bukan resto tapi jangan salah rasa se'i babi itu tak kalah lezatnya. Hanya saja pemandangan mengagetkan mungkin bagi beberapa pendatang wisatawan sepertiku memberi sebersit ragu ditengah kecamuk penasaran. Beberapa anjing liar nampak mengais sisa nasi atau babi dari piring-piring dan nampan bekas pembeli sebelumnya yang belum sempat dibereskan. Hoho..ya ya pengalaman membeli mahal sebuah cerita, anggap saja itu tidak ada. Perut lapar sudah, hal tak  biasanya itu tak mengurungkanku makan se'i babi. Kamipun memesan makanan, sebakul kecil nasi putih, sei babi senampan dan sambal khas Kupang dimana cabe dan jeruk purut sekulit-kulitnya difermentasi dan rasanya pedas sekali. Nikmat sempurna dan juga serasi rasanya.
--
Sebagai ibukota sudah menjadi rahasia umum juga, bahwa kota Kupang memang menawarkan pemandangan yang mempesona dengan pantainya. Dan seperti ceritaku tadi kami sempat mampir bermain ke Tablolong. Jalan menuju pantai itu dihiasi pohon-pohon yang meranggas karena kemarau kering. Ranting yang mengering berjajar membuat eksotis perjalanan pantai musim kemarau. Langit biru sebiru-birunya, beradu dengan birunya pantai kehijauan yang masih asri. Siang itu matahari terik sekali. Tetapi warga di sekitar pantai begitu rajin menekuni kegiatannya. Ya warga di sekitar Tablolong mayoritas berprofesi sebagai nelayan dan petani rumput laut. Mereka nampak beraktifitas dengan perahu dan rumput lautnya. Sedang bocah-bocah di perkampungan nelayan bermain air di pantai begitu riangnya. Dan akupun menghabiskan siangku tuk menikmati eksotisnya pantai Tablolong yang biru sempurna di bawah terik itu.

 



--

Tak ketinggalan sebuah potret gotong royong yang menjadi ciri khas bangsa ini pun terlukis indah siang itu. Para nelayan disela sibuknya bergotong royong mendorong perahu untuk dibawa ke tepi untuk diperbaiki. Mereka menyapa ramah kami dengan antusiasnya untuk ikut berfoto. Itulah cerita singkat jalan-jalanku di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Sampai jumpa lagi untuk cerita tentang langit biru sempurna kota itu di lain waktu.

 



























(special thanks to: my brother, sister, family in Kupang, Om Welem)

Comments