Dari Catatan Perjalanan Kota Apel

Dari sebuah catatan perjalanan yang kurang lebih dua setengah tahun lamanya baru sempat kuselesaikan, untuk sebuah kenangan yang tidak bisa terulang..


Ini cerita tentang liburan akhir tahun 2014 awal tahun 2015. Selepas libur Natal dan Tahun Baru pulang kampung dari Jakarta ke kota kelahiranku Jogja dan kembali lagi ke Jakarta lanjut aku pergi ke kota kelahiran ibuku, kota yang terkenal dengan apelnya, Malang, Jawa Timur. Dengan fisik yang cukup terforsir karena aku baru saja membaik dari sakit flu saat di Jogja aku tetap nekat sesuai rencana pergi juga ke kota apel itu. Tidak menyesal dan tidak sia-sia ternyata memang begitu indah kotanya, sejuk dan bersahabat penduduk setempatnya. Dan memberiku mimpi tentang seandainya bisa tinggal di kota itu sepertinya mungkin menyenangkan, karena kotanya bersih dan juga asri. 
Stasiun Malang Kota Lama, KA Ekonomi Matarmaja No. 152
K3 00814 ML - 29122014 - 15.15 to 30122014 - 06.50
Foto: Buku Harian Laura
Dengan kereta ekonomi saja, sampai juga aku ke Malang, tepatnya di Stasiun Malang Kota Lama. Sepanjang perjalanan di kereta aku berbincang bersama penumpang lain asal kota Malang yang banyak bercerita segala sesuatu tentang kota itu, dari pariwisatanya, kuliner, sampai cerita seram pendakian di beberapa gunung di sana. Setiba di kota itu, seadanya mandi di stasiun dan sarapan pagi di warteg stasiun. Tak lupa membeli juga nasi bungkus untuk makan siang serta belanja amunisi (air mineral beberapa botol, mie instan, coklat, snack, perment, tissue dsb). Taspun semakin penuh dan sangat berat, tapi tetap semangat. Sekedar duduk dan mengamati sembari masih menunggu di depan stasiun Malang untuk menemui salah seorang teman lama temanku. Tak jauh berbeda dari kota kelahiranku, hilir mudik penduduk setempat bercakap-cakap dengan bahasa Jawa, sudah barang tentu bukan hal asing di telingaku. Oke dan perjalanan pertamapun dimulai menuju Pulau Sempu. Dengan dipandu mesin pencari info yang handal simbah Google dan GPS (Gunakan Petunjuk Suara) tanya dengan siapa saja aku berhasil naik angkutan ini dan itu sampai ke terminal Gadang untuk menuju lokasi pantai Sendang Biru sebagai pintu masuk ke pulau tersembunyi yang menjadi tujuan utamaku. Perjalanan dengan angkutan kecil dari terminal Gadang ke pantai Sendang Biru Malang begitu mempesona menyusuri hutan-hutan dengan daun yang lebat, bau basah tanah humus disekitarnya dan suasana jalan meliuk menukik sepanjang jalang yang terkadang gelap terkadang terang saat melintasi hutan  menambah serunya liburanku.
Menunggu penggantian ban angkutan pecah di jalan dari terminal Gadang ke Sendang Biru
Foto: Buku Harian Laura
Dan lebih seru lagi diamini dengan ban angkutan yang aku tumpangi pecah  di tengah jalan, jadi harus ganti ban seadanya, padahal angkutan yang melintas sangat jarang wah sesuatu banget lagi-lagi mengamini perjalanan ke Sendang biru. Dan kali ini aku beruntung saat di terminal Gadang, aku mendapat rombongan yang juga ingin ke Pulau Sempu, jadi aku mendapat rombongan untuk penyebarangan kapal di Sendang Biru agar aku bisa menyeberang kapal dengan harga lebih murah (Rp. 35.000,-/ orang) sekaligus menjadi teman-teman baru untuk tracking. Oya salah satu dari mereka ternyata sudah pernah datang ke Sempu sebelumnya ya ya anak mapala cukup meyakinkan untuk menjadi tambahan gaet. 
Pusat Pelelangan Ikan, Sendang Biru, Malang
Foto: Buku Harian Laura

Kapal Penyebrangan Sendang Biru ke Pulau Sempu
Foto: Buku Harian Laura

Pantai Sendang Biru Malang
Foto: Buku Harian Laura

Jasa Penyebrangan Sendang Biru ke Pulau Sempu
Foto: Buku Harian Laura

Tracking di Pulau Sempu
 Foto: Buku Harian Laura

Pak Mulyono, petani tebu, gaet Pulau Sempu
Foto: Buku Harian Laura


PULAU SEMPU

Pulau yang tersembunyi di balik bukit di seberang pantai Sendang Biru Malang, adalah pulau yang masih cukup asri, meski sudah banyak yang datang, tapi jalurnya belum dibuka dengan bagus. Terjal dengan banyak karang, berlumpur, naik turun, cukup menguras tenaga bagiku yang awam dalam hal pendakian. Tapi beruntungnya aku sudah terbiasa berjalan kaki jauh sehari-hari jadi ya hanya terkendala dengan medannya saja. Parahnya itu musim hujan, sangat berlumpur, lengket sekali dengan sepatu dan karena aku belum berpengalaman datang tanpa persiapan sepatu atau sandal gunung. Mulanya dengan sandal sepatu biasa, tetapi karena lumpur yang berat akhirnya aku memutuskan untuk bertelanjang kaki. Luka-luka sudah pasti karena banyak karang yang kadang tajam tetapi lumpur membuat kaki sedikit mati rasa buatku, jadi baguslah tak terlalu sakit.  Dan baru sadar sesampai di kota baru lihat kalau kaki banyak tergores dan robek. Menju Sempu yang tersembunyi, beruntunglah aku sampai sebelum hari gelap karena medannya cukup berat. Dan aku merasa salut untuk beberapa orang rombongan di belakangku yang ternyata salah satu dari mereka teman lama, teman kuliahku dulu di Jogja. Mereka sampai ketika hari sudah sangat gelap. Kami berkemah, kami memasak bersama teman-teman baru, saling bertukar perbekalan, seru sekali berbagi. Apalagi persediaan air sangat minim, di pulau terpencil di balik bukit, tidak ada warung, toko, atau pasar. Hanya ada bukit, penghuninya saja hanya monyet-monyet, dan air yang ada air asin yang tidak bisa diminum. Benar-benar berkemah, memasak dengan parafin menggunakan nesting untuk membuat nasi yang akhirnya jadi bubur tim, sup sosis, dan mie goreng. Dan tengah malam sempat membuatku sedikit merasa ngeri, angin berhembus kencang, hujan mulai turun, aku berkemah di pesisir pantai di pulau terpencil, dengan tenda parasit seadanya dan patok yang digunakan sepertiya kurang begitu meyakinkan di atas hamparan pasir itu. Tapi semua baik-baik saja, puji Tuhan, kemahpun juga tidak rubuh. Saat hujan berhenti aku memilih berbaring di luar tenda bersama yang lain, melihat langit malam, merasakan sepi yang benar-benar sepi, merasakan terisolasi jauh dari hingar-bingar kota, diam di pulau terpencil, hanya bisa berpasrah dengan Tuhan sembari menikmati ini liburan luar biasa yang kupilih. Akhirnya pagi menjemput, langit gelap perlahan mulai bersinar, udara dingin malampun perlahan diganti oleh sejuknya pantai. Thanks to the Lord for beautiful day! kunikmati pagi berjalan di atas air, mengambil gambar, melihat tenda-denda lain yang cukup banyak karena bertepatan libur akhir tahun. Kemudian aku mulai berkemas, hari sempat hujan sebentar, dengan jas hujan yang memang sudah disiapkan dibawa cukup beranfaat. Kira-kira pukul 10.00 wib gaet kami Pak Mulyono namanya datang. Oke waktunya pulang, dan "Selamat tinggal Sempu!" rasanya sedih meninggalkan pulau itu. Padahal apa yang disedihkan bukankah mengerikan tingal di pulau terpencil sudah dirasakan? tapi mungkin kenangan yang sangat berbeda dan luar biasa itu yang membuatku sedih, karena merasa yakin sepertinya tidak akan kembali ke pulau itu. Saat pulang aku sempat berpisah dari rombonganku, hanya berbekal percaya pada Tuhan saja sepertinya, aku dipandu oleh salah seorang polisi hutan untuk mencari jalan pintas menuju Sendang Biru. Dan memang benar berkat digandeng dengan Bapak itu, yang ga kenal lelah hampir jarang berhenti beristirahat, dengan menerjang lumpur sana sini aku sampai lebih awal sampai bertemu rombonganku lagi. Haus sekali, air menipis, hanya bisa membasahi tenggorokan saja, itupun harus berbagi, bahkan sempat minum air dari gaetnya di setengah perjalanku. Oya Pak Mulyono itu ternyata kesehariannya kalau lagi musim tanam dia adalah petani tebu, istrinya berjualan makanan kue-kue basah pesanan, dan beliau ternyata seoarang nasrani juga. Banyak diceritakan olehnya, salah satunya adalah cerita pilu tentang pengemudi kapal yang kami tumpangi yang kehilangan salah seorang anak laki-lakinya yang meninggal saat bekerja di perikanan di Jepang, kisah yang masih menyisakan duka di keluarganya. Perjalanan panjang, senyum sumringah melihat Sendang Biru lagi dan kapal menjemputku kembali ke kota. 
Menikmati Pagi Pulau Sempu
Foto: Buku Harian Laura


Surga Tersembunyi, Pulau Sempu
Foto: Buku Harian Laura


Sebuah Cerita Indah Pulau Sempu
Foto: Buku Harian Laura


Gemericik Pemecah Hening Sempu
Foto: Buku Harian Laura

Goodbye Sempu
"Jangan Lupa Bawa Sampahmu Sebelum Pergi"
Foto: Buku Harian Laura


HAPPY NEW YEAR, KOTA BATU

Bersama rombongan baru yang lain lagi kali ini aku ikut rombongan teman kuliahku itu menuju kota Batu, ke penginapan. Mengejar angkutan dan trafik kota yang bakal ditutup karena tahun baru jadi tidak boleh terlambat. Tapi sempatlah kami makan sore, Bakso Telur Asin selepas termilal Gadang sebelum ke Songgoriti, Batu, Malang. Mirip dengan susana kota kelahiran kakekku, Salatiga dingin benar daerah Batu kota apel ini. Suasananya juga hampir mirip, jalannya trotoarnya mengingatkanku pada mendiang kakekku, masa kecil dulu, dan kota Salatiga. Malam dengan kaki yang sangat pegal oleh-oleh dari Sempu, harus tetap jalan untuk ke alun-alun kota Malang karena hari itu malam Tahun Baru. Sepanjang jalan disambut bunyi petasan, dan gelak tawa arek Malang di tepian jalan, cafe, distro, dan mural/grafiti.

Grafiti 2015
Foto: Buku Harian Laura
Grafiti Kota Batu
Foto: Buku Harian Laura


Mural di sudut Kota Batu, Malang
Foto: Buku Harian Laura
Ternyata alun-alun penuh dengan pengajian akbar, jalan ditutup digelar tikar dan koran dengan para santri pesertanya. Meski begitu yang merayakan tahun baru arek Malang di lokasi sebelah juga tetap ada, ramai sekali, kendaraan ga bisa lewat, bahkan pejalan kakipun sulit keluar dari kerumunan. Yang kunikmati hanya ramai sekali, nyala terang dan suara kembang api, juga perut lapar sekali. Akhirnya sampai juga di Songgoriti lagi, dan aku makan malam, soto ayam yang rasanya kurang pas dengan seleraku tapi karena lapar sangat okelah telan saja. Dan aku melalui tahun baru 2015 dengan begitu saja.

Sebuah Kartu Ucapan Selamat Tahun Baru 2015, Batu, Malang
Foto: Buku Harian Laura




CANGER,  SELECTA

Sebotol teh hangat dalam tumbler, menemani hangat pagi masih di Songgoriti, Batu, kota Malang. Sempat mampir sarapan menu istimewa, salah satu kuliner Malang yang membuatku sangat terkesan karena kelezatannya, namanya Kikil Sapi Ario Samba. Harganya bersahabat dengan rasa pejabat.
Kikil Sapi Ario Samba, Batu Malang
Foto: Buku Harian Laura



Harga Bersahabat, Rasa Pejabat
Foto: Buku Harian Laura
Menunggu Pesanan Kikil Sapi
Foto: Buku Harian Laura

Kikil Sapi Ario Samba
Foto: Buku Harian Laura
Selepas sarapan cuzz tujuan hari itu ke Canger dan Selecta. Canger adalah salah satu permandian air panas dari mata air Gunung Welirang. Terletak di kelurahan Tulungrejo, kecamatan Bumiaji, kota Batu, Malang dalam kawasan Hutan Raya R. Soeryo. Untuk sampai ke tempat tujuan aku pergi memyewa ojek. Hamparan pemandangan cantik luar biasa sangat indah melukis gunung, luasnya kebun apel dan sayur di sepanjang jalan berliku semakin naik. Kalau aku di tanya soal kota Malang di jalan meuju Canger Selecta inilah view terbaik yang paling kusuka. Dengan dimanjakan udara sejuk  kota apel yang dingin pada suhu udara yang berkisar 15 - 25 derajat celcius aku bisa melihat hijaunya hamparan pegunungan (Gunung Arjuno, Gunung Welirang, dan juga Gunung Anjasmoro) tegap berdiri menyapaku di sepanjang jalannya. Konon cerita bapak ojek yang mengantarku, saat Malang di musim penghujan suhu udaranya bisa menyentuh lebih rendah lagi terasa seperti akan membeku.

Arjuno, Welirang, Anjasmoro dari kaca mata Selecta
Foto: Buku Harian Laura

Jalan Menuju Cangar, Selecta
Foto: Buku Harian Laura

Hijaunya Tepi Jalan Selecta
Foto: Buku Harian Laura


Melihat Lebih Dekat Gunung Arjuno
Foto: Buku Harian Laura

Sesampai di permandian menganti  pakaian lalu menuju kolam untuk ikut berendam, tapi kolam-kolam penuh dengan lautan manusia karena memang lagi liburan akhir tahun. Dan cukup sial saat berganti pakaian, pakaian gantiku sempat jatuh ke comber dan tepaksa membeli sebuah kaos seharga Rp. 50.000,- karena masih mau pergi menuju Selecta. Oya selain permandian di Canger ini disediakan pula wahana bermain fying fox dan kuliner khas yang dijajakan adalah tape ketan hitam. Kembali mecari ojek yang cukup sulit akhirnya aku sampai juga ke Selecta.

Foto: Buku Harian Laura
Selecta adalah taman rekreasi keluarga yang cukup lengkap, ada wahana flying fox, kolam renang, bebek goes, kolam ikan, dan patung-patung binatang. Tempat ini lebih cocok buat kalian yang mungkin ingin mengajak keluarga berlibur dengan anak-anak kecil yang suka bermain air. Selain untuk rekreasi Selecta memanjakan mata penikmat bunga dengan koleksi taman bunga di bagian depan yang membuat para pecinta selfie kalap mata untuk mengambil moment di setiap sudutnya. Dan sesuai asal namanya, Selecta (Bahasa Belanda) yang berarti pilihan memang layak menjadi pilihan yang oke untuk kalian yang mencari tempat untuk berfoto pre-weeding selain untuk tujuan rekreasi keluarga. Berfoto, menciba kuliner di Selecta, dan berjalan-jalan hingga tak terasa hari sudah gelap dan aku harus segera balik ke penginapan. Dan karena angkutan di Selecta sudah ga ada akhirnya aku menghampiri sebuah angkutan dan mulai tawar-menawar dengan sopir angkot untuk mencarternya sampai di penginapan, yah anggap saja naik taxi. Lalu  kusempat mampir untuk membeli titipan teman sari apel. Dengan ramah sopir angkutan itu mengantar ke penjual grosir sari apel.
Kebun Bunga Selecta, Malang
Foto: Buku Harian Laura
Halo Selecta
Foto: Buku Harian Laura

Kolam Bebek Goes Selecta, Malang
Foto: Buku Harian Laura

Kolam Renang Selecta, Malang
Foto: Buku Harian Laura

Wahana Luncur di  Kolam Renang Selecta, Malang
Foto: Buku Harian Laura


MUSEUM ANGKUT, PASAR APUNG, MUSEUM TOPENG, BATU NIGHT SPECTAKULER

Selamat Datang di Museum Angkut
Foto: Buku Harian Laura

Hari berikutnya aku pergi untuk tujuan ke Museum Angkut. Harga tiketnya cukup mahal Rp. 75.000,- / orang, dan dikenakan tambahan harga untuk yang membawa kamera DSLR. Museum ini mempunyai area yang cukup luas dengan berbagai koleksi kendaraan biasa hingga kendaraan antik baik dari dalam maupun luar negri. Tak hanya kendaraan darat museum ini juga mempunyai koleksi kendaraan laut dan udara. Museum Angkut didekorasi sesuai asal negara-negara dari koleksi kendaraan yang ada, diantaranya Inggris, Jerman, Paris, Itali, Jepang dan negara-negara lain termasuk menampilkan koleksi kendaraan dan suasana Indonesia tempo dulu, juga perkampungan China (Pecinan) yang didukung dengan aktivitas perekonomian kota jaman itu. Melalui dekorasi Indonesia tempo dulu tersebut sejarah tentang perkembangan angkutan di Indonesia diangkat dimana dengan kendaraan kendaran tersebut perekonomianpun ikut berkembang.
Koleksi helicopter Bolkow / Bo - 105 (Jerman), Museum Angkut
Foto: Buku Harian Laura

Koleksi Chevrolet (Amerika), Museum Angkut
Foto: Buku Harian Laura

Koleksi Willys Overland (Amerika) - Cikal Bakal Jeep, Museum Angkut
Foto: Buku Harian Laura
Koleksi Rolls Royce (Inggris), Museum Angkut
Foto: Buku Harian Laura
Koleksi Mobil Rotan, Museum Angkut
Foto: Buku Harian Laura
Koleksi Becak Motor, Museum Angkut
Foto: Buku Harian Laura
Koleksi Fiat Cooper (Italia), Museum Angkut
Foto: Buku Harian Laura
Koleksi Fuji Rabbit Junior (Jepang) - Scooter Senior Vespa, Museum Angkut
Foto: Buku Harian Laura


Kota Malang dari kaca mata Museum Angkut (Belakang)
Foto: Buku Harian Laura



Sepeda, Museum Angkut
Foto: Buku Harian Laura
Indonesia tempo dulu (Pecinan) Museum Angkut
Foto: Buku Harian Laura

Kampung Pecinan Museum Angkut
Foto: Buku Harian Laura

Replika Kantor Pelabuhan Sunda Kelapa, Museum Angkut
Foto: Buku Harian Laura

Potret Hidup Nelayan di Pelabuhan Sunda Kelapa, Museum Angkut
Foto: Buku Harian Laura

Indonesia dan Sunda Kelapa, Museum Angkut
Foto: Buku Harian Laura
Perekonomian Indonesia Tempo Dulu
(Gerobak Es Puter), Museum Angkut
Foto: Buku Harian Laura


Kantor Polisi (Sheriff), Museum Angkut
Foto: Buku Harian Laura

The Bue Bar, Museum Angkut
Foto: Buku Harian Laura

Harley di Dinding Museum Angkut
Foto: Buku Harian Laura

Fire Station, Museum Angkut
Foto: Buku Harian Laura

Fire Fighter, Museum Angkut
Foto: Buku Harian Laura

Broadway Theater, Museum Angkut
Foto: Buku Harian Laura
Gengster Town Selfie, Museum Angkut
Foto: Buku Harian Laura

Hujan Depan Broadway Theater
Foto: Buku Harian Laura
Broadaway Theater, Museum Angkut
Foto: Buku Harian Laura

Tembok Berlin, Museum Angkut
Foto: Buku Harian Laura


Tersesat di Inggris, Museum Angkut
Foto: Buku Harian Laura

Halo Buckingham Palace Guard, Museum Angkut
Foto: Buku Harian Laura

Mr. Bean - Koleksi Mini Cooper (Inggris) Museum Angkut
Foto: Buku Harian Laura

Cerita Cinta  Museum Angkut
Foto: Buku Harian Laura

Hollywood, Museum Angkut
Foto: Buku Harian Laura

Berbatasan dengan museum angkut ada pasar apung yang menjajakan berbagai macam cindera mata dan oleh-oleh khas Malang juga kuliner. Mengapa disebut Pasar Apung? ya memang benar pasar handicraft dan kuliner ini berada di atas sungai atau bisa disebut parit kecil yang telah disulap sedemikian apik sebagai wahana bermain perahu dayung di bawah mengitari pasar.

Foto: Buku Harian Laura

Pasar Apung Dari Kacamata Museum Angkut
Foto: Buku Harian Laura
Lalu ada juga Museum Topeng, yang masih di area sekitar Museum Angkut dan Pasar Apung. Pada museum Topeng disimpan berbagai macam koleksi topeng dari seluruh jenis topeng di Nusantara, dan di sinilah surganya pecinta seni dan budaya, karena selain topeng dipajang juga benda-benda seni adat peninggalan dari seluruh Nusantara juga bazar barang-barang kerajinan hasil karya seniman kota Malang. Dan terakhir aku pergi ke Batu Night Spectakuler. Tempat seperti apa BNS itu? mirip dengan pasar malam, mirip dengan taman lampion/ taman pelangi di Jogja, dan dilengkapi dengan wahana bermain ala-ala pasar malam, rumah setan, komet diputar, odong-odong, kereta gantung kurang lebih seperti itu. Yang special disitu adalah wahana bermain gravitasi. Bentuknya mirip UVO dimana para pengunjung bisa masuk dan diputar sampai rasanya seperti melayang-layang di luar angkasa. Selain wahana gravitasi tak kalah menarik adalah wahana bermain gokart nah inilah surganya cowok-cowok yang punya mimpi menjadi seorang pembalap.
Wellcome BNS
Foto: Buku Harian Laura

Mari Bermain, BNS - Batu Malang
Foto: Buku Harian Laura
Mari Bermain Gokart di BNS
Foto: Buku Harian Laura

Foto: Buku Harian Laura

Itulah cerita singkat liburan tahun baruku di kota Malang. Meski sudah berakhir pengalaman pulangpun cukup tak terlupakan karena mengejar kereta dengan waktu yang mepet aku harus naik bus berdesakan berdiri dan cukup cemas karena kota batu menuju ke stasiun kota Malang macet...huff tapi puji Tuhan aku tidak tertinggal kereta.

Nice trip! see you again in another time I wish, I will always miss this city, the the scenery, the city inhabitants and all the sweet moment I ever have there.
~Hello


Comments

Popular Posts