Selembar Surga dari Gunung Sampah (Romansa Sosok dan Mimpi Indah TPS Piyungan)

 

Foto: Buku Harian Laura
mendulang rejeki dari gunung sampah TPS Piyungan

Foto: Buku Harian Laura
manusia, sampah, dan ternak di TPS Piyungan

Foto: Buku Harian Laura
jalan berdebu TPS Piyungan

Foto: Buku Harian Laura
alat berat, sapi, dan kendaraan pengangkut sampah di TPS Piyungan

Foto: Buku Harian Laura
Jajanan TPS Piyungan

Jogja terik bukan kaleng-kaleng, tak menyurutkan ku mengunjungi surga lain pengais rejeki dari tumpukan sampah. TPS Piyungan, dijauhi tapi dibutuhkan. Ya siapa yang tahan dengan bau menyeruak dari gunung tumpukan sampah yang sudah mulai beroperasi sejak tahun 1995 ini. Di lahan seluas 10 hektar kurang lebih aku ada untuk mereka masyarakat kabupaten Bantul, Jogja kota, dan juga Sleman. Ya TPSku ini dimanfaatkan optimal oleh kedua kabupaten dan kotamadya itu pada khususnya untuk pembuangan sampah terakhir melalui armada-armada truk jasa pengangkut sampah yang lalu lalang mendatangiku. Meski lahan luasku ini terbagi lebih besar masuk wilayah Pleret secara geografis dari pada Piyungan sendiri, tapi aku lebih dikenal mereka dengan panggilan akrab TPS Piyungan. Tak masalah bagaimana Jogja mengenaliku. Tak kenal maka tak sayang begitulah  jika kalian belum mengunjungi atau menyapaku dari dekat. Walalupun aku tak menarik karena parasku tak elok dan bauku tak sedap tapi aku selalu menyayangimu dan ingin selalu berteman ramah dengan kalian. Bahkan bagi mereka bapak-bapak dan ibu-ibu pengais rejeki di tumpukanku aku dirawat dan disayanginya seperti anak dan keluarga mereka, dan bagi sekumpulan hewan seperti sapi juga kucing-kucing liar aku adalah rumah makan mewah, sekaligus rumah tuk menikmati indahnya rahmat kehidupan. Bencengkrama dengan mereka semua bersama terik matahari dan langit yang sesekali tak ramah dengan kami yang kadang memberi hujan, tetap membuat kami menjadi potret keharmonisan lain yang tak terbayangkan bagi kalian yang belum pernah singgah atau sekedar merasakan atmosferku.

Foto: Buku Harian Laura
TPS Piyungan

Foto: Buku Harian Laura
Gunung Sampah TPS Piyungan


Late post kenangan jalan-jalanku hari Sabtu, 14 Mei 2022. Maaf baru punya semangat untuk melengkapi dan memilah fotonya padahal tulisannya sih udahan jadi di tahun lalu, tapi karena kemalasan dan didukung berbagai aktifitas, rutinitas dan sejenak harus beristirahat setelah kedua kalinya kembali terinfeksi covid jadilah baru hari ini ada semangat dan target diri untuk segera merealisasikan post ceritaku dan semoga cerita ini masih relevan, menarik untuk dikisahkan serta tak kadaluarsa untuk dibagikan.  Di tengah ramainya pemberitaan mengenai rencana relokasi TPS Piyungan yang baru, sekali waktu baiklah aku berjalan-jalan tuk melihatnya lebih dari sekedar apa yang diceritakan oleh media. Cuaca Jogja hari-hari itu memang sedang kurang bersahabat, jika panas ia terlalu terik tapi kadang juga bisa hujan datang tiba-tiba, namun potret menawan tentang cerita surga indah lain dari ketinggian Bukit Sosok  tak menyurutkanku membulatkan tekat untuk melihatnya lebih dekat. Dan sisi lain potret kehidupan disuguhkan apik memberi pengalaman untuk ikut merasakan suka duka dan romansa narasi perjuangan membeli hidup dari surga sampah kota Jogja. Jalan berdebu di tengah terik menuju TPS Piyungan, motorku mengikuti truk-truk sampah bertutup terpal menuju jalan yang kian menanjak sedikit terjal. Sesekali kulihat tetesan air rembesan truk membasahi aspal dan jalanan membuat bau pun tak terelakkan bagi semua yang berkendara di dekatnya. Namun apa yang aku rasakan tentulah bukan sebanding dengan pengorbanan warga di sekitar TPS yang disuguhi bau menyeruak itu setiap harinya saat membuka pintu ataupun jendela-jendela rumahnya di sepanjang jalur menuju pintu masuk TPS yang menanjak itu. Potret murung desa sekaligus surga rejeki terlukis di sepanjang jalan menuju TPS. 

Foto: Buku Harian Laura
Jalan di Sekitar Gunung Sampah TPS Piyungan


Foto: Buku Harian Laura
Jalan Berdebu TPS Piyungan

Foto: Buku Harian Laura
Truk - truk Pengangkut Sampah TPS Piyungan

Foto: Buku Harian Laura
Bedag Bangunan Semi Permanen TPS Piyungan

Foto: Buku Harian Laura
Rumah Warga di Sekitar TPS Piyungan


Foto: Buku Harian Laura
Jembatan Timbang
(pintu masuk truk sampah ke TPS)

Dari tikungan jalan awal terdapat warung makan yang menjajakan makan seadanya untuk para pekerja di TPS. Rumah-rumah di samping jalan bebatuan terjal, menempati daerah yang posisinya lebih dalam dari badan jalannya. Terlihat sedikit memprihatinkan memang, jika kita bicara perihal ekspektasi kehidupan yang bersih dan sehat, terlebih jika kita menengok disepanjangnya berjajar tumpukan-tumpukan karung berisi sampah yang telah terpilah untuk nantinya dijual kepada masing-masing pengepul sampah berdasar jenisnya. Masih kuikuti sebuah truk bertutup terpal orange melaju perlahan  di depanku, hingga aku terhenti di seberang depan pos jembatan timbang, tempat truk-truk armada sampah tersebut masuk dan ditimbang isi sampahnya guna membayar biaya pembuangan sampah. Adapun biaya pembuangan sampah yang harus dibayarkan adalah Rp. 25.000,- untuk setiap ton sampahnya, sedang rata-rata setiap truk sampah berkisar antara 4-5 ton daya muatnya. Dan setiap harinya kurang lebih sekitar 600 ton sampah masuk TPS Piyungan, jadi bisa dihitung kan ada kurang lebih sekitar 120-150an truk sampah datang lalu lalang bergantian masuk TPS untuk membuang sampah. Sungguh dari angka tersebut tak dapat dibanyangkan banyaknya sampah itu setiap minggunya, setiap bulannya, setiap tahunnya bahkan untuk sekitar 27 tahun kurang lebih usia dari TPS Piyungan itu telah beroperasi.



Foto: Buku Harian Laura
sekelompok sapi bersantai di salah satu permukiman warga TPS Piyungan

Foto: Buku Harian Laura
sapi di salah satu tikungan jalan TPS Piyungan

Foto: Buku Harian Laura
dua ekor sapi berjalan menuju gunung sampah dan perkampungan sebagai pemandangan di tepi jalannya

Foto: Buku Harian Laura
seekor sapi berjalan dari jembatan timbang ke arah gunung sampah TPS Piyungan 



Konon info dari warga TPS ini dahulu adalah lahan persawahan dan permukiman warga dengan struktur tanah yang berupa cerukan dalam (semacam jurang) jika di lihat dari bukit-bukit di sekitar TPS Piyungan termasuk dari bukit Sosok. Info dari Pak Maryono (ketua perkumpulan para pemulung di TPS Piyungan) kurang lebih kedalaman aslinya tanah di TPS Piyungan sebelum digunakan sebagai tempat pembuangan sampah adalah sekitar 75-80 meteran dari tanah tempat kami berpijak dan berbincang saat itu, di ujung bawah bukit tumpukan sampah TPS Piyungan. Jadi tanah serta bukit yang terlihat saat ini adalah hasil dari sampah sekitar 27an tahun yang telah dibuang di lokasi itu yang sebagian sudah memadat, sebagian terurai oleh proses pembusukan dan sebagian masih teronggok menggunung tak terurai oleh alam karena mayoritas sampah adalah plastik dan bahan-bahan yang sulit terurai bahkan untuk puluhan tahun. (bandingkan dengan data peta Leiden)

Foto: Buku Harian Laura
seorang pemulung gelas plastik

Foto: Buku Harian Laura
karung sampah pilahan 

 Potret murung kota dan sampah yang kian menjadi keprihatinan Jogja bahkan dunia di manapun karena sampah tentunya akan berbanding lurus dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan bagaimana kah perihal daya tampung TPS serta masa waktu pakai sebuah tempat sebagai TPS serta dampak lingkungan di sekitarnya itu sendiri bisa terakomodir dengan baik agaknya akan selalu menjadi PR untuk diupayakan solusinya. Sementara yang ada saat ini para pemulungpun melihat hal itu sebagai peluang mendulang rejeki untuk mengais dan mengumpulkan sampah berdasar jenisnya seperti plastik gelas/botol/kemasan minuman, kertas, kain, kresek/ kemasan, busa, karpet, kapuk, stereofoam dll. 

Foto: Buku Harian Laura
salah satu bedag sampah kasur busa, spon, kasur kapuk

Foto: Buku Harian Laura
sampah kasur busa, bantal guling 

Foto: Buku Harian Laura

Foto: Buku Harian Laura
seorang ibu pemilah sampah gelas plastik


Foto: Buku Harian Laura
karung-karung besar sampah gelas dan botol plastik

Foto: Buku Harian Laura

Pengepul sampah sendiri menjadi saluran distribusi raw material untuk proyek daur ulang sampah hingga ke tangan produsen dan produsen adalah penggiat perekonomian yang dituntut menjadi kreatif untuk pemanfaatan limbah agar menjadi barang yang dapat digunakan kembali dengan layak. Namun hal itu tentunya masih terkendala perihal waktu dan biaya pengolahannya karena dari gunungan sampah di TPS Piyungan ini untuk dapat di beli pengepul setiap pemulung yang saat ini berjumlah sekitar 470an orang (masih aktif) harus bekerja dulu memilah sampah itu berdasar jenis dan spesialis yang mereka geluti. Butuh tenaga ekstra untuk proses manual ini karena setiap harinya setiap pemulung hanya bekerja sekitar 11 jam (jam 06.00-17.00) sesuai jadwal buka operasi TPS Piyungan itu, itupun dengan hasil minimal sehari sekitar Rp. 35.000,- setiap orangnya. Jadi kira-kira sekitar 1kg-an lebih untuk perjamnya agar mendapat hasil rupiah tersebut untuk jenis gelas plastik sebagai contoh yang laku dijual 4.000an/ kg nya ke tangan pengepul (jika waktu kerja dipotong dengan 1-2 jam untuk istirahat siang). Tak sulit tapi juga tak semudah membalik tangan berpeluh di terik matahari, debu dan berteman bau juga kerumunan lalat menjadi teman sehari-hari para pemulung ini. Dan setiap mereka tentu berbeda-beda tingkat kemampuan kumpulnya karena faktor fisik dan kendala-kendala lain di lapangan serta jenis dan harga jualnya. Kendala kerja seperti terik matahari, debu, bau, dan lalat serta masalah kesehatan lainnya (resiko penyakit akibat bercengkrama dengan sampah) ada pula resiko yang juga tak kalah ngerinya mengintai menggeluti pekerjaan yang satu ini. Dari gunungan sampah yang tertimbun memadat puluhan tahun dan dari proses pembusukan maka ada gas metan yang dihasilkan di dalam tumpukan sampah ini. Gas metan ini tentu menjadi berbahaya jika mendapat tekanan yang kuat di dalam tanah/ tumpukan sampah padat dan tak disalurkan dengan pengolahan yang tepat tanpa pembuatan pipa-pipa penghasil dan penyalur gas metan. Dengan terik matahari yang sangat panas dapat memicu ledakan dan kebakaran di TPS yang tentu saja membahayakan warga (para pemulung) yang sedang beraktifitas di lokasi. Adapun salah satu pemicu yang sering terjadi adalah dari sampah korek api bensin yang barangkali ikut terbuang saat belum benar-benar habis juga puntung rokok yang belum benar-benar mati memantik api. Mungkin barangkali melihat fenomena ini kita bisa belajar lebih bijaksana untuk memikirkan membuang sampah korek api gas salah satunya sampai benar-benar habis atau dipecah kan saja plastik koreknya hingga gas tak tersisa saat hendak dibuang. Kurang lebih sudah 6x an pernah terjadi ledakan/ kebakaran dari tumpukan sampah di TPS Piyungan ini info dari Pak Maryono saat beliau berkisah tentang suka dukanya bekerja di TPS. Dituturkannya juga bahwa melalui studi banding yang pernah dilakukan Pak Maryono serta rekan seprofesinya yang juga merupakan wakil warga setempat ke pengolahan sampah di daerah Surabaya dan Wonosobo warga kemudian berharap juga adanya optimalisasi pemanfaatan gas metan yang dihasilkan dari TPS Piyungan untuk menjadi sumber energi yang barangkali bisa mensubtitusi kebutuhan gas LPG bagi warga setempat. Namum nampaknya harapan itu masih terhenti pada harapan, karena apa yang disampaikan belum membuahkan hasil. Tragedi lain yang memilukan yang terjadi di TPS adalah beberapa kali di temukannya mayat bayi yang diduga dari hasil hubungan gelap yang dibuang baik dalam keadaan hidup (lalu meninggal) atau sudah meninggal lama tanpa pernah bisa di runtut dari mana asalnya dan siapa pelakunya. Belum lagi kasus pencurian ternak sapi milik warga/ para pemulung yang dipelihara di TPS Piyungan serta tragedi pemulung tertimbun sampah di daerah cerukan hingga tertusuk tanduk sapi yang terguling jatuh dari atas gunungan sampah saat bertengkar mengais mencari makan di TPS yang mengakibatkan luka parah hingga harus menjalani operasi otak. Ironisme memelihara ternak di TPS sudah menjadi larangan. Namun jika hanya mengandalkan dari hasil memulung tentu saja masih jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari  sekaligus membiayai anak-anak mereka bersekolah. Maka kegiatan berternak di lahan sampah masih menjadi hal yang menjanjjkan dan terpaksa digeluti untuk pemenuhan kebutuhan dan dianggaplah hal itu sebagai kompensasi keberadaan TPS itu sendiri agar bisa memberi manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat sekitar TPS pada khususnya atas kompensasi pencemaran lingkungan oleh keberadaan TPS. Dari sampah organik yang ikut terbuang di antara sampahnya sapi-sapi itu terlihat sangat terbiasa nyaman mengais dan belalu lalang layaknya manusia di sekitar TPS. Mereka sudah terbiasa berjalan, menyeberang lalu lalang bahkan untuk sekedar duduk-duduk santai di antara kawanannya di sela dan di sekitar mesin-mesin traktor pengeruk sampah tanpa saling mengganggu.  Adapun ternak lain  yang hidup dari mengais sampah organik di TPS itu adalah ayam juga lalat hitam BSF (Black Soldier Fly). BSF adalah jenis lalat tak bermulut yang diklaim tidak menyebarkan penyakit ikut diternakkan dalam atmosfer TPS Piyungan untuk digunakan sebagai penghasil sumber protein pada fase larvanya yang mencerna sampah organik sebagai pakan untuk budidaya jangkrik atau ulat hongkong yang juga menjadi sumber pakan burung/ unggas. 

Foto: Buku Harian Laura
jajaran bedag para pemulung di salah satu sudut TPS Piyungan

Foto: Buku Harian Laura
sebuah tikungan antara gunung sampah dan bedag pemulung TPS Piyungan

Foto: Buku Harian Laura
alat berat di atas gunung sampah TPS Piyungan

Foto: Buku Harian Laura
seorang pemulung bekerja di depan bedagnya 

Foto: Buku Harian Laura
kubangan air jalan becek air hujan dan air lindi TPS Piyungan

Foto: Buku Harian Laura
salah satu jalan menanjak TPS Piyungan dengan becek air lindi di tepiannya

Foto: Buku Harian Laura
sapi berjalan mencari makanan ke arah gunung sampah diantara alat berat di TPS Piyungan

Foto: Buku Harian Laura
sebuah alat berat sedang dioperasikan untuk memindahkan sampah ke gunungan

Foto: Buku Harian Laura
beberapa ekor sapi beristirahat di dekat alat berat dan truk sampah TPS Piyungan

Foto: Buku Harian Laura
para pekerja pengoperasi alat berat, pemulung, dan sapi-sapi di TPS Piyungan 

Menelisik dan berjalan-jalan lebih jauh di TPS Piyungan, nampak bedak-bedak pemulung yang mereka bangun sebagai tempat berteduh juga menyimpan hasil pemulungan mereka untuk dipilah lebih lanjut. Bedak nan sederhana dari seng, bambu bekas kardus, kain serta material apapun yang dianggap kuat yang juga diambil dari gunungan sampah tentunya. Bedak-bedak itu digunakan sekedar tuk berpayung dari teriknya matahari atau berlindung jika hujan tiba-tiba datang mengguyur. Namun saat badai/ hujan angin datang tentu resiko porak poranda tak terelakkan. Belum lagi karena didirikan di sekitar gunungan sampah beberapa bedak yang kulihat di dekatnya menaglir lindi genangan air yang dihasilkan dari proses dekomposisi sampah yang busuk yang tentunya sangat bau dan berwarna hitam, bisa di bayangkan bukan bagaimana suasananya potret murung masih terlukis jelas menjadi ironi resiko kesehatan yang tentu disisihkan demi menjemput rejeki yang digeluti para pemulung. Panas, becek, bau dan berlalat tapi tak menyurutkan mereka melakoni profesi itu. Meski di beberapa tempat masih terlihat lindi membuat kubangan disekitar cerukan sampah, di TPS Piyungan sudah mulai dibuat selokan untuk aliran lindi tersebut. Nantinya air lindi itu akan dialirkan melalui gorong-gorong yang ada untuk masuk ke penampungan dan diolah menjadi lebih bersih agar tidak berbahaya untuk diteruskan ke aliran lainnya. Namun dengan cakupan lahan yang memang sangat luas dan belum tergarap apik beberapa lindi masih juga dikeluhkan warga meresap ke permukiman hingga dikawatirkan terus mencemari kualitas air tanah di beberapa RT/RW yang terdampak. Penyediaan TPS bukanlah hal yang mudah karena acapkali terbentur dengan pro dan kontranya, akibat ketersediaan lahan yang minim belum lagi dampak lingkungan yang tak main-main karena TPS tersedia tak jauh dari lahan permukiman warga. Bahkan lahan seluas kurang lebih 10 hektar ini adalah hasil dari relokasi permukiman penduduk setempat beserta lahan bercocok tanamnya di waktu silam. Masih bisa dilihat di samping gunung sampah TPS di bagian sisi cerukan di sekitarnya ada banyak rumah-rumah warga. Hal serupa yang terjadi dan lagi hangat-hangatnya diperbincangkan mengenai rencana relokasi TPS Piyungan ke TPS baru di dekatnya yang masih dalam perundingan negosiasi kesepakatan warga dengan pengembang/ pengelolanya. TPS baru tersebut akan menempati lahan yang sedikit lebih kecil dari TPS Piyungan (kurang kebih 6-8 hektaran) namun akan dibuatkan pengelolaan yang diharapkan lebih baik, dengan teknologi mesin pengelola sampah yang modern. Tentu hal yang masih menjadi pertanyaan warga adalah apakah mesin-mesin pengolah sampah itu mampu beroperasi maksimal dan lebih cepat tanpa menimbulkan antrian panjang truk-truk sampah dan akankah sampah-sampah itu muat di lahan yang lebih kecil itu selama proses tunggu pengolahan? Belum lagi belajar dari TPS yang lama resiko-resiko pada lingkungan sekitarnya tentu diharapkan  jauh lebih kecil. Seperti yang diberitakan media tuntutan warga di TPS baru itu sempat menuai ketegangan hingga berdampak pada blockade jalan akses menuju TPS. Dan akibatnya sampah  menumpuk di kota Jogja, hingga akhirnya blokade itu dibuka kembali setelah negosiasi berbuah dengan 8 kesepakatan sebagai titik temunya. Hal mengerikan yang sempat terjadi saat blokade TPST contohnya adalah TPS pinggir jalan arah pasar Lempuyangan yang kian menumpuk hingga mengganggu ke bahu jalan, miris potret murung Jogja kota dengan sampah di jalanan mengganggu estetika dan segala resikonya belum teratasi dengan apik. Namum apa mau di kata kodya Jogja  belum tersedia lahan yang cukup memadai untuk pembuangan sampahnya padahal penduduknya kian padat, sedang di Bantul dan Slemanpun dengan ditutupnya akses jalan ke TPST maka beberapa hari terjadi penumpukan sampah yang kian berarti di depan rumah-rumah karena belum bisa diangkut dan dibuang di TPST. Dan keterlambatan itu membuat antrian panjang di TPS Piyungan tak terelakkan. Maka TPS Piyungan menjadi harapan besarnya untuk  bergantung. Mungkin menjadi jalur yang panjang juga untuk diperbincangkan mengingat status pengelolaan TPS Piyungan itu sendiri beberapa kali berpindah dari pemprov DIY lewat dinas terkaitnya lalu pernah juga dipegang oleh gabungan 3 daerah (kabupaten Bantul, Sleman dan kotamadya Jogja).  Saat ini TPS kembali di kelola oleh pemprov DIY dan mulai digagas optimalisasinya baik dari  sisi TPS Piyungan itu sendiri hingga nantinya di TPS yang baru. Berjalan di sekitarnya tampak para pekerja kontraktor pemerintah sedang membangun jalan berpaving di sekitar gunungan sampah yang terlihat semacam terasering, membangun saluran-saluran air termasuk saluran aliran lindi TPS Piyungan dimana nampak pipa-pipa besar  dan culvert box telah didatangkan di lokasi. Ada juga terlihat gulungan kain geotextile teronggok di salah satu sisi TPS Piyungan yang berguna untuk menahan dan mencegah longsoran tanah. 



Foto: Buku Harian Laura
pipa dan culver box untuk pembuatan gorong² dan saluran lindi di TPS Piyungan

Foto: Buku Harian Laura
terasering saluran lindi dan paving di gunungan sampah TPS Piyungan

Foto: Buku Harian Laura
saluran air lindi TPS Piyungan


Foto: Buku Harian Laura
jalan berdebu dari gunungan sampah ke gunungan sampah lainnya TPS Piyungan

Besar harapan atas TPS Piyungan itu digarap sangat serius!  Nantinya TPS lama ini akan dibuat sebagai objek wisata tritunggal edukatif mengenai pengelolaan sampah yang sedang dan akan segera digarap (pembuatan konblok dari bahan sampah yang dipress salah satunya) bersama dengan Puncak Sosok yang menyugungkan potret indah dari kejauhan tentang romansa kehidupan TPS Piyungan yang terus digadang-gadang menarik minat wisatawan beserta keberadaan TPST Piyungan itu sendiri sebagai historinya. 

Foto: Buku Harian Laura
melihat TPS Piyungan dari ketinggian (Bukit Sosok)

Foto: Buku Harian Laura
romansa Piyungan dan Sosok

Foto: Buku Harian Laura
jingga di Puncak Sosok, indah meski sesekali menyeruak

Dari wacana dan rencana apik ini tentunya kita sebagai warga turut senang dan berbangga apabila hal itu terealisasi, tetapi menjadi catatan dengan terwujudnya optimalisasi TPS Piyungan itu tadi semoga tak lantas mengesampingkan nasib warga sekitar yang terdampak akibat keberadaan TPS juga nasib para pemulung yang selama ini bermata pencaharian sehari-hari di sana jika TPS lama digarap menjadi objek wisata dan TPS baru kian efektif di kelola dengan teknologi modern. Di sisi lain terpikirkan olehku apabila ada peraturann yang mewajibkan dan ditindak lanjuti dengan sosialisasi pemilahan sampah sesuai klasifikasinya mulai dari tingkat rumah tangga hingga pelaku usaha barangkali memang akan lebih efektif memediasi percepatan proses pengelolaan sampah. Namun harapan ini barangkali menjadi ironi dari jasa pemilah sampah yang dilakukan para pemulung karena semakin sampah terklasifikasi dari hulu (rumah tangga) maka di hilirnya kebutuhan pemilahan menjadi berkurang/ minim. Dan apabila sampah ini dikelola terpusat dengan menggandeng pihak-pihak swasta yang saat ini memberi jasa layanan pengambilan sampah melalui armadanya dari rumah ke rumah untuk pengangkutan sampah dan seandainya bisa didukung pemerintah untuk pengadaan armada yang nantinya bisa mengangkut sampah berdasar klasifikasinya dan berdasar harinya tentu lebih baik dan efektif (misal hari tertentu untuk sampah organik, dan hari lainnya untuk sampah non organik). Lalu bagaimana dengan jasa pemilah sampah yang digeluti oleh para pemulung? Setiap harapan dan kebijakan tak urung menuai pro dan kontranya, tetap teriring doa terbaik agar tenaga mereka masih  dibutuhkan di TPST untuk mengisi kebutuhan tenaga manual fisik lainnya dan teman-teman pemulung yang sudah ada masih bisa diajak untuk bekerja sama, karena semakin cepat proses mendaur ulang kita bisa menyelamatkan bumi dari kepunahan lebih dini. 

Foto: Buku Harian Laura
sampah stereofoam di TPS Piyungan

Foto: Buku Harian Laura
sampah dipilah berdasar jenisnya




Comments

Popular Posts