Ibukota, di tahun awal

Happiness is a way of travel..


Stasiun kereta, adalah salah satu tempat yang selalu membawaku pulang pada ingatanku tentang ibukota. Enam tahun lalu, masih terlintas ingatanku tentang Jakarta. Waktu itu masih jamannya kereta ekonomi berjubel sesak dengan muatan tak manusiawi. Lalu lalang penjaja minuman dan makanan berteriak tak mau kalah "Mijon kacang p*p mi" berulang melangkahi tanpa peduli bahkan juga tanpa permisi pada manusia yang duduk atau berbaring di lantai dalam gerbong kereta beralas koran. Dan aku pernah ada di salah satunya, dengan Rp. 35.000,- saja aku bisa mengobati rindu kota ibu. Membeli tiket dengan harga yang sama, untuk sekitar delapan jam lebih perjalanan, tanpa mendapat tempat duduk. Melantai kumal beralas koran tak ada hirau lagi kalau aku seorang perempuan. Tanpa ampun berdesak sesak penuh dilompat penjaja minuman bahkan kadang juga terinjak, sedikit menjijikkan memang kena bekas sandal basah dari bekas masuk toilet umum. Itulah kenyataanya hahaha sensasi segar bau toilet umumpun menganga tanpa ampun. Dan masih dalam ingatanku pada kenangan enam tahun lalu, pada lintasan kereta Klender Buaran, Jakarta Timur biasa aku pulang. Metromini 506 mengantarku dari Terminal Kampung Melayu turun dekat palang pintu Carrefour Buaran hampir tiap malam bahkan larut, berjalan kaki menyeberang lintasan kereta dimana kanan kirinya banyak penjaja juga mungkin preman pasar diantaranya. Jakarta, yang katanya si ibutiri kejam bagi bocah ingusan sepertiku waktu itu, bisa dibayangkan larut malam dengan resiko tindak kriminal siap mengintai mata yang lengah di kanan kiri. Dan lanjut aku berjalan kaki dari lintasan kereta mencari Bemo, kendaraan khas Jakarta menuju kos-kosan. Gang sempit, dengan rumah berjubal. Pemandangan yang sedikit berbedapun cukup membuatku yang waktu itu belum terbiasa jadi berkesah. Jalan tak serapi dan sebersih kotaibu, orang meludah di sana sini ringan sekali mengundang lalat dan bayangkan saja berjalan memilah jalan mana yang bersih itu sulit sekali tapi itu dulu pernah kulakukan. Sementara penjaja makanan ditepi jajan berjajar dan mereka yang berdandan rapi style perlente ala kantoran dengan lahapnya menyantap bubur ayam di warung tenda berkebul asap yang kadang hitam dari angkutan kota. Lagi-lagi cengengnya bocah ingusan (aku) waktu itu tak bisa makan dengan situasi seperti itu awalnya. Tetapi waktu mengajariku untuk bisa bahkan terbiasa menyantap bubur atau soto di tepi jalan berdebu dan sekitaran penjaja yang sedikit kumuh meski aku sudah berdandan rapi. Suka tidak suka mau tidak mau itulah kenyataannya alih-alih merasa jijik, justru rasanya soto ayam pinggir jalan itu nikmat sekali tiada duanya. Seiring waktu akupun mulai terbiasa, aku bahkan tak terlalu hirau lagi pada jalan berlalat itu, juga aku mulai terbiasa pada malam-malam yang larut, jalanan kota yang ramai, macet, mendengar makian kasar kota dan seterusnya. Memang benar jika Jakarta adalah ibukota, seorang ibu (tiri) yang kejam tetapi mendewasakan. Banyak pengalaman tak terlupakan di awal tahunku di sana.
Jika kamu merantau, kamu akan menemukan keluarga. 
Jika kamu merantau, kamu akan tau artinya rindu pada keluarga di kampung halaman. 
Dan jika kamu merantau, kamu akan tau caranya berdamai dengan ego. 
(my beautiful memories leave there)

"fajar di tepi peron stasiun kereta"
Foto: Buku Harian Laura

Comments

Popular Posts