Dag Dig Dug Jantung Kota


Musik mengalun seirama dengan denyut jantungku setiap waktu dan kemanapun aku pergi. Aku hidup dalam angan, pikir dan fantasiku. Dan aku senang menikmati hangat matahari pagi juga udara malam yang menemaniku berjalan-jalan kemanapun dan seperti biasanya hatiku bertanya dan berbicara pada semesta dan ia bercerita banyak hal tentang mereka

(Foto: Buku Harian Laura)
Berjalan di gang sepulang kerja melihat mereka dan membawa pikirku pada sebuah tanya antara mimpi dan realita. Ketika melihat bocah dekil dengan ingusnya tak terurus oleh orang tuanya dan pikirku, mungkin orang tuanya terlalu sibuk mencari receh demi receh untuk sesuap nasi hari ini, mungkin karena mereka miskin dan tinggal di tempat yang kumuh dan terbiasa hidup kurang bersih, atau mungkin memang mereka kurang peduli pada hal remeh temeh. Tetapi aku sedih melihanya, sementara di tempat yang lain sana mereka yang hidup lebih beruntung anak-anak dengan berbagai kemudahan bersekolah, makan makanan yang cukup, dan bermain dengan permainan yang serba cangih sangat berbeda dengan bocah-bocah kecil di sekitarku ini yang berebut makanan dan bermain mainan yang alakadarnya. Bagi mereka apa saja yang disekitar bisa jadi mainan mungkin botol/ kaleng bekas atau palstik bekas. Mereka tak kenal plays station, in line skate/ skuter (sepatu roda), atau boneka Barbie yang cantik. Cemilan mereka bukan roti, susu, atau es krim hanya snack-snack kecil yang dijajakan di warung seharga lima ratus atau seribuan rupiah dan minuman berwarna-warni di plastik yang membuatku miris melihatnya. Ketika balita yang seharusnya minum susu dan perlu asupan gizi di masa pertumbuhannya tetapi minum minuman yang sarat dengan pewarna. Kemiskinan kadang membuat mereka kurang memperhatikan arti sebuah kesehatan. Benarkah sehat itu mahal? 

Sementara di tikungan lain hidup sepasang pasangan lanjut usia yang tinggal bersama di rumah yang sangat sederhana. Rumah yang boleh dibilang hanya sekedar tidak kepanasan dan tidak kehujanan, ya rumah yang masih jauh dari kata sehat. Mereka tua dan tidak mempunyai keturunan. Aku tak terlalu tau jauh tentang mereka tapi aku melihat apa yang kulihat hidup mereka sehari-hari. Hidup serba seadanya, di rumah yang jauh dari kata bersih. Rumah yang berdampingan dengan kamar mandi yang boleh dibilang kumuh. Dengan pompa air jaman dulu yang harus menguras tenaga untuk mendapatkan airnya. Pakaian yang melekat di tubuh mereka hanya yang itu-itu saja, bau keringat dari kulit keriput dan lemak minyak dari rambut mereka yang kurang terawat dan tak begitu bersih kadang tercium. Lagi-lagi kemiskinan menjadikan hidup layak dan bersih menjadi sekedar mimpi. Setiap kali aku melihat seseorang dengan usia senjanya aku teringat pada nenekku di kampung halamanku sana beliau sudah tua dan ingatannya sudah berkurang, bahkan mungkin sekarang beliau tidak bisa mengingatku jika aku datang. Ia adalah ibu kedua bagiku. Aku sangat beruntung mempunyai nenek sepertinya. Beliau yang mendidikku dan yang membuatku bisa bersekolah hingga aku bekerja dan hidup cukup sejak kecil hingga sampai hari ini. Semoga beliau selalu sehat. 


***
Sementara di tikungan jalan yang lain yang kulalui gelak tawa anak-anak ABG    mewarnai malam yang semakin larut. Asap rokok mengepul disela-sela canda tawa mereka, seolah hidup ini terasa begitu mudah. Tak hanya ABG kadang sampai selarut itu bocah-bacah usia SDpun masih berkeliaran di jalanan. Tanyaku dalam hati adakah mereka tidak dicari oleh orang tuanya? Sudahkah mereka mengerjakan PRnya? Besok harus masuk sekolah pagi apa mereka bisa bangun pagi juga? 


***
Pagi hari ketika bau dapur tetangga yang biasa jadi alarm untukku membangunkanku dari tidur yang selalu terasa singkat, segera aku bersiap menyambut pagi dan bergegas untuk pergi ke kantor kembali sembari kunikmati hangat matahari melalui jembatan penyeberangan yang kulewati setiap hari. Dan kupandangi jalan kota ini dengan kendaraan yang menyemut dan hiruk pikuk terminal juga mereka yang sudah berdandan rapi untuk hari sibuk mereka. Jakarta tempat banyak orang menggantungkan mimpinya setinggi mungkin tapi sedalam mungkin juga kami bisa jatuh dan melarat di tempat ini. Teringat kata kakakku sebelum aku datang ke kota ini "hidup di Jakarta itu keras dik!, maka keraslah pada hidup sebelum hidup keras pada kita!" Kata yang tak mudah untuk ku cerna begitu saja, rasanya hampir tak sanggup untuk ku telan  kata-kata itu di lidahku tapi entahlah waktu terus berjalan dan aku diberi kesempatan untuk mencobanya dan merasakannya, meskipun sampai hari ini tak bisa ku janjikan aku mampu bersahabat dengan kota yang tak pernah mau bersabar ini. Bunyi klakson kendaraan tin….tin….treeen……brmmmmm….bremmm! begitu gaduh bersahut-sahutan di mana-mana. Dan pikirku "seandainya setiap orang mau bersabar dan mengalah barang 2 menit saja"  ah  tapi tidak itu hanya mimpi jauh dari kata "okelah tunggu dulu" senyatanya makian dan lemparan kata-kata kasar di mana-mana. Yah apapun itu itulah Jakarta, aku masih di sini untuk mendengarkan semua itu dan klakson-klakson mobil itu menjadi nada dering  telepon hatiku saat kapan saja aku harus siap menerima telepon atau sms dengan pesan "maaf mohon tunggu sebentar anda diminta untuk bersabar".  


***
Sebait kisah lain suatu hari di hari Minggu. Sore itu aku pergi untuk jumpa denganNya  untuk "mencharges baterai hatiku" begitu kata salah seorang temanku yang senang membuat lelucon di status facebooknya. Hujan rintik-rintik dan bau basah serta senja menemaniku sendiri menikmati denyut jantung kota. Pergi bersama angkot yang ngetem lama sekali di terminal cukup membuatku merasa begitu bete karena takut terlambat datang! huh gerutuku dalam hati sebari berulang-ulang kali ku lihat ke tangan kiriku yang melingkar jam tangan milik ibuku berwarna biru tua denga hiasan warna emas. Sementara  jarum panjang jamnya sudah semakin mendekati angka 12 dan jarum pendek di angka 6, "haah lama sekali" masih gerutuku lagi. Sssssst si sopir menghentikan angkot yang ku tumpangi itu di tepi jalan setelah lampu merah dekat jembatan penyebrangan. Aku turun dan kuserahkan selembar uang bergambar Pangeran Antasari pada si sopir. Dan di dekat tangga kujumpai seorang bapak tua duduk dengan gerobak pikulnya dari kayu dengan sepotong bambu panjang yang dihubungkan tali ke dua kotak kayu dengan kaca pada salah satu sisinya dimana di dalamnya di letakkan beberapa bongkah roti. Ya roti home industri yang tak dibungkus dengan plastik apik seperti roti-roti yang punya merek kenamaan yang biasa kita jumpai di gerai mini market atau di jajakan keliling gang dengan musik khusus yang semua orang hafal lagunya. Pikirku lagi wah masih juga ada di kota yang katanya metropolitan ini yang berani bersaing dengan roti seperti itu yang kupikir harganya tak jauh berbeda dari roti merek kenamaan yang di bungkusnya ada segaris tulisan no Dep Kes RI sekian sekian. Roti dengan merek kenamaan ini mampu menekan costnya dan menjualnya dengan harga yang masih cukup mudah dikeluarkan dari saku pun dengan rasanya yang bersabat dengan lidah. Tapi entahlah dengan roti yang dijual bapak tua itu tadi karena kebetulan aku belum sempat membelinya karena tergesa-gesa, tapi sungguh aku masih penasaran bagaimana rasanya. Nanti kalau aku ketemu lagi aku ingin mencoba dan membelinya. Bagiku semangat bapak tua itu tadi luar biasa! satu kata dariku SALUT! aku tak yakin aku bisa seperti itu. Pikirku lagi entah seberapa banyak sih dari orang yang hilir mudik lewat mau membeli roti itu, karena sejenak kuamati di beberapa penjual roti yang serupa di tempat lain mereka tak di banjiri pembeli bahkan ketika aku lewat si penjual seringnya kulihat hanya sedang duduk-duduk sembari berharap moga-moga ada yang mampir, sementara tak jauh dari mereka dan hanya beberapa langkah saja penjual roti dengan merek kenamaan dengan gerobaknya yang apik siap menanti pejalan kaki yang mampir hendak mengisi perut mereka dengan sebongkah roti. Selembar dua tiga lembar uang ribuan mungkin setiap harinya tak sampai beratus-ratus ribuan untuk berpuluh puluh peluh yang yang menetes saat panas dan basah air hujan yang membasahi kulit coklat mereka yang terbakar matahari saat berjalan bermil-mil jauhnya untuk terus berjuang untuk makan sehari-hari mereka, istri dan juga anak-anaknya. Dan lagi-lagi pikirku tak habis-habisnya menggelitik seperti  bulu kemoceng yang dimainkan di telinga hatiku bagaimana nasib si roti-roti tadi jika tidak laku hari itu? mau di buang? atau dikembalikan ke pembuatnya? lalu untuk di jadikan apa? dilumat atau mungkin di olah lagi? bagaimana jika berjamur? dan lagi-lagi aku harus tertunduk lemas dan dipaksa puas dengan jawaban "entahlah, sudah nasib si roti, resiko dari berdagang" meski masih juga tak puas dan ku tanyakan lagi dengan pesimis "bagaimana nasip penjualnya?" Entah bagaimana ceritanya tapi toh mereka masih bertahan dengan pekerjaannya itu untuk setiap mimpi mereka yang mungkin tak akan terbeli jika tanpa sebuah keajaiban yang kita sebut "berkat Tuhan".

Comments

Popular Posts